Sabtu, 12 Februari 2011

Kisah Cinta Seorang Anak


Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh.Wahyu, suamiku,
memberinya nama Abdullah. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
saja.
Namun Wahyu mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Abdullah dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Aisyah. Saya sangat menyayangi Aisyah, demikian juga Wahyu. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.
Namun tidak demikian halnya dengan Abdullah. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Wahyu berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Wahyu selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Aisyah 2 tahun, Wahyu meninggal dunia. Abdullah sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Aisyah. Abdullah yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Akbar, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Akbar, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah  sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Aisyah telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Abdullah dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Abdullah melintas kembali di pikiran saya. Ya Abdullah, Mommy akan menjemputmu Abdullah. Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Akbar, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Akbar dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Abdullah.. Abdullah …
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
Abdullah sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Abdullah yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Abdullah terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Abdullah meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama Abdullah, ya? Mom, biarlah Abdullah yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Abdullah. Bye, Mom…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!” Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Abdullah
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommynya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”

Tidak ada komentar: