Jumat, 13 April 2012

Tonny Koeswoyo Pribadi yang Selalu Memberi

Bukan sebuah kebetulan jika pada penghujung karier dan masa hidupnya, Wit Gedang adalah salah satu lagu ciptaannya yang berbicara tentang hakikat hidup manusia. Lagu itu berbicara tentang semangat pengabdian. Hidup adalah memberi. Itulah inti dari lagu ciptaan Tonny Koeswoyo. Sebuah lagu yang sangat filosofis, di dalamnya berbicara tentang kematian. Namun tidak hanya kematian benar yang ingin disampaikan pengarang. Wit Gedang atau pohon pisang menjadi analogi yang pas bagi masa hidup Tonny Koeswoyo. Betapa tidak. Semenjak kecil, Tonny telah biasa memukul-mukul ember atau kaleng membentuk bebunyian, berirama. Dari situlah kelak lahir karya-karya besar dari tangannya. Setelah masa inkubasi bermusik, lahirlah Tonny dalam Kus Bros, Koes Bersaudara, dan Koes Plus. Mulai tahun 1962-1987 Tonny terus berkarya dengan berbagai macam perjuangannya. Ia selalu berjalan 2 mil ketika diminta 1 mil. Periode itu terus mencipta lagu demi lagu, album demi album.
Lirik lagu itu menjelaskan kepada kita bahwa pohon pisang ditanam-tumbuh-berbuah-ditebanglah pohon pisang itu, buahnya dinikmati bayak orang lalu mati. Demikianlah masa hidup Tonny. Ia terus memberi tidak saja bagi keluarga , keluarga besarnya, namun juga bagi bangsa ini. Ia telah meletakkan dasar musik pop, dari aspek teknis maupun industri. Ia adalah pahlawan bagi bangsanya melalui musik yang ia ciptakan. Melihat semua hal yang telah diabdikannya, kita akan semakin menemukan pribadi Tonny dengan totalitas dan vitalitas hidup yang tinggi. Kita akan menghayati totalitas itu dalam lagu Habis Tanpa Sisa. Lagu ini berbicara bahwa musik bukan saja menjadi bagian hidupnya, lebih dari itu, musik adalah Tonny itu sendiri. Musik telah manunggal, melebur jadi satu dalam jiwanya dalam kehidupannya.
Lebih jauh lagi, meski tak banyak diketahui, Tonny menciptakan lirik yang sangat dahsyat, lirik itu berbunyi- Jadilah berarti sebelum kau mau berhenti- (dalam lagu De Du Ron Ron -Koes Plus Angin Senja 1984). Demikianlah Tonny memaknai hidup sebagai sesuatu yang harus diisi dengan arti. Saya yakin, sejak lagu Telaga Sunyi, sang Maestro telah menghayati dan menyadari bahwa setiap orang yang hidup juga dipanggil untuk mati. Berarti hidup ini singkat. Mungkin pelopor musik ini bertanya, bermenung: "Jika hidup ini singkat, lalu untuk apa hidup, apakah tidak lebih baik mati saja?" Itulah tanggapan reflektif Tonny dalam Telaga Sunyi. Dan Tonny tidak berhenti pada pemahaman lebih baik mati saja, namun hidup ini harus diisi dengan arti. Chairil Anwar dalam salah satu baris puisinya mengatakan "Sekali berarti, sesudah itu mati."
Makna hidup itu telah diterjemahkan dalam semangat untuk terus berkarya, hingga sampai tetes darah penghabisan. Tonny telah menancapkan arti hidup bagi semua orang yang mau mengerti dan memahami makna dari buah-buah pekerjaannya.
Pada pribadi Tonny, kita juga mendapati bahwa sebagai pemimpin, Ia tidak mau dilayani, tetapi malah melayan "Leader is Servant." Sebuah prinsip ekslusif yang sangat jarang orang mau melakukannya. Dan dengan kekayaan notasinya, ia mencipta lagu sebagai bentuk pelayanannya kepada seluruh manusia di Indonesia khususnya.
Masa-masa akhir hidupnya, bagi saya sebenarnya sudah dapat kita raba dengan mata hati kita bahwa sejak awal, Tonny selalu akrab dengan kata kematian. Coba kita simak dalam Telaga Sunyi, Da Silva, Mak Engket, Da Da Da, dll. Pada lagu Gempa Asmara atau Burung-burung yang Membisu, firasat akan datangnya masa akhir dalam kehidupannya dapat dirasakan. Tonny menyanyi dengan suara yang berat-berteriak, suatu yang tak lazim. Dan dalam falsafah Jawa, yang tak lazim ini menyiratkan sesuatu. Tanda itu makin telanjang dalam teropong mata nurani kita saat kita menyimak Geladak Hitam. Dari situlah masa perjuangan seniman besar Indonesia menjelang pada masa-masa akhirnya.
Tonny Koeswoyo dengan segala kebesarannya dalam dunia musik kita berpulang. Seluruh elemen kebudayaan kita sangat kehilangan. Tanah Air kehilangan musisi, pencipta lagu, penata musik, manajer, produser, pengayom, yang bertahun-tahun menjalani kesetiaannya dalam musik. Jagat kebudayaan kita berduka, dunia kesenian kita mengalami depresi. Tonny Koeswoyo telah pergi. Namun, bangsa ini terus mencari dan mencari. dan sesudahnya, Koesplus yang adalah Tonny, Koesbersaudara yang adalah Tonny terus mewangi, berbagai macam tanda penghargaan diekatkan kepadanya. Dunia musik kita selalu diwarnai oleh senyumannya, tanpa Koesplus, tanpa KoesBersaudara perjalanan musik kita tidak akan lengkap. Tonny Koestono Koeswoyo telah mendarmabaktikan seluruh hidupnya dalam pengadian panjang tak pernah berhenti. Ia telah menaburkan, menyemai benih-benih pengabdian itu yang diwariskan bagi putra-putrinya. Kini lahirlah pengharapan kita akan lahirnya sebuah generasi baru dalam tangannya.
Kita merindukan empat pemuda kuat lahir dari generasinya, yang dinantikan untuk menghadirkan kembali "Tonny" dalam wacana baru Koeswoyo. Kiprah 'nya' itu adalah dalam upaya mewujudkan visi ayahnya.
Semoga, kita akan menuai kembali semaian-semaian musik Yang dulu ditabur sang Pemimpin-Tonny Koeswoyo, nyanyian dari dinastinya sampai akhir nanti.

ditulis oleh
Abednego Tri Gumono

"Tonny itu 'senopati' keluarga Koeswoyo"

Kepergian Tonny Koeswoyo bagi Pak Koeswoyo,80 tahun,ayahnya, bukan cuma di rasakan sebagai kehilangan seorang anak tercinta, tetapi terutama kehilangan seorang 'senopati' di medan juang kehidupan.

"Ibarat keluarga Koeswoyo itu pasukan, komandannya selama ini adalah Tonny",katanya.
"Saya tidak tau siapakah di antara saudara-saudaranya yang bisa/mampu menggantikannya", sambung Pak Koeswoyo yang di temui lepas bersembahyang Dzuhur di rumahnya di kompleks Koes Bersaudara,Cipete.

Mengenang putra keduanya yang meninggal jumat malam lalu, Pak Koeswoyo memang tak bisa menyembuyikan rasa hormat dan bangga yang lebih kepada Tonny Koeswoyo- meski ia berusaha menghindari kesan membanding bandingkan anak2nya, khususnya Koes Bersaudara,satu sama lain.
"Siapapun dari keluarga kita, keluarga besar Koeswoyo tak bisa mengingkari, kita semua bisa sampai begini karena 'senopati' itu. Almarhum itu cucuk, ujung tombak keluarga kami", kenangnya lagi.

Dalam usia 80 tahun, Pak Koeswoyo masih tampak segar dan tegar. Ingatannya pun masih tajam. Ia banyak bercerita secara kilas balik terutama sekitar awal terbentuknya Koes Bersaudara.. Ketika itu, katanya, dia justru orang yang paling keras menentang keinginan ke empat anaknya,Tonny, Nomo, Yok dan Yon untuk menggeluti dunia musik. "Saya itu berharap mereka bersekolah sampai tamat. Kalau main musik itu kan pasti mengganggu sekolahnya"
Setelah pensiun dari Kantor Kementerian Dalam Negeri di tahun 1960ia kembali ke Solo bersama istrinya untuk membuka usaha tembakau. Anak-anak di tinggal di Jakarta untuk bersekolah dengan menempati rumah dinas di jalan Mendawai,Kebayoran Baru. Sejak itu, katanya, praktis anak-anak hidup tanpa kontrol orangtua.. Sekolahnya tidak ada lagi yang mengawasi.

Di Solo ia sempat marah dan bertengkar besar dengan istrinya karena ternyata tanpa sepengetahuannya, John dan Tonny datang kesana dan berhasil membujuk ibunya untuk membelikan peralatan musik. "Waktu itu saya bilang, hancur sudah masa depan anak-anak. Mana mungkin bisa memperhatikan sekolah sambil main musik. Tapi nggak taunya saya yang keliru"

"Dengan kepergian Tonny, Kita keluarga besar Koeswoyo, yaitu saya dan kakak serta adik-adiknya, semuanya mendapat pelajaran yang bagus sekali. Karena itu saya berharap besar keluarga Koeswoyo mengenang apa yang indah-indah dari almarhum.
Jangan ada yang mengenang kurang baiknya. Manusia itu memang tidak ada yang sempurna, mesti ada cacatnya; tapi juga tidak ada yang jelek betul"
Ketika mengucapkan kata ini Pak Koeswoyo nampak di kecam rasa haru yang paling dalam. Matanya sembab, suaranya bergetar...

'Senopati' telah pergi..kenangan yang di tinggalkannya manis sekali...indah sekali...Pak Koes berdesis..




-diambil dari sebuah harian ibukota thn 1987-